28 November 2013

Qunut Shubuh



Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi (Imam an-Nawawi) rahimahuLlahu ta’ala (semoga Allah merahmati beliau) mengatakan bahwa menurut ‘ulama` asy-Syafi’iyyah (ber-madzhab Imam Syafi'i) do’a qunut dalam sholah Shubuh hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan).

Sayyidina Anas bin Malik radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau) bercerita, “RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam selalu membaca do’a Qunut dalam sholat Shubuh hingga beliau meninggal dunia.” [H.R. Imam al-Hakim, Imam Ahmad, Imam ad-Daruquthni, Imam al-Baihaqi, dan lainnya, dengan sanad yang shohih; dishohihkan pula oleh Imam an-Nawawi]

Diriwayatkan dari Sayyidina Muhammad bin Sirin, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Sayyidina Anas bin Malik radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau), ‘Apakah RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam qunut pada sholat Shubuh?’ Beliau menjawab, ‘Ya, sesaat setelah ruku’.’” [Shohih Imam Muslim, nomor hadits 298]

Diriwayatkan dari Sayyidina Abu Huroiroh radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau) bahwa RasuluLlah shallallahu ‘alayhi wasallam qunut setelah bangkit dari ruku’ roka’at kedua sholat Shubuh. [H.R. Ibn Nashr dengan sanad yang shohih]

Banyak sekali sahabat Nabi rodhiyaLlahu ‘anhum ajma’in (semoga Allah ridho kepada beliau semua) yang ngamalin (melakukan) qunut dalam sholat Shubuh, di antaranya adalah Khulafa`ur Rosyidin: Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq, Sayyidina ‘Umar bin al-Khoththob, Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan, dan Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib; serta Sayyidina Abu Musa al-Asy’ari, juga Sayyidina ‘AbduLlah bin ‘Abbas rodhiyaLlahu ‘anhum ajma’in (semoga Allah ridho kepada beliau semua). Keterangan tentang itu ada di berbagai riwayat.

Habibunal-Mahbub Sulthonul-Qulub al-Habib Mundzir bin Fu`ad bin ‘Abdirrohman al-Musawa ‘alayhi rahmatuLlah (semoga rahmat Allah terlimpah kepada beliau) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) para Imam Madzhab rahimahumuLlahu ta’ala (semoga Allah merahmati beliau semua) mengenai pembacaan do’a qunut, namun—satu hal—tidak ada yang mengharamkan qunut dibaca setiap sholat Shubuh. Pendapat-pendapat tersebut merupakan ijtihad para Imam yang mengeluarkan pendapat tersebut dengan sekian banyak pertimbangan dan dengan keluasan ilmu syari’ah yang mendalam, dan telah diakui pula oleh puluhan Imam dan ratusan penghafal hadits dan muhadditsin setelah beliau-beliau.

Makam al-Imam an-Nawawi di Kota Nawa, Syiria
http://www.flickr.com/photos/8043726@N06/496642656/
 

Ada satu persoalan yang perlu disampaikan di sini: ada hadits yang menyatakan bahwa RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam membaca do’a qunut selama sebulan untuk mendo’akan kecelakaan bagi sebagian orang Arab, kemudian beliau meninggalkannya (tidak membaca do’a qunut). Mengenai hal tersebut, baik sekali jika kita perhatikan keterangan di bawah ini.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللّـهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فِى الرَّكْعَةِ اْلأَخِيْرَةِ يَدْعُوْا عَلى حَيٍّ مِنْ بَنِيْ سَلِيْمٍ عَلى رَعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعَصِيَّةٍ وَيُئَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ .

Dari Sayyidina ‘AbduLlah bin ‘Abbas radhiyaLlahu ‘anhuma (semoga Allah ridho kepada beliau berdua), beliau berkata, “Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alayhi wasallam membaca do’a qunut selama sebulan berturut-turut pada waktu sholat Zhuhr, ‘Ashr, Maghrib, ‘Isya`, dan Shubuh, di ujung semua sholat. Ketika beliau mengucapkan “Sami’aLlahu li man hamidah” pada roka’at terakhir, beliau membaca do’a qunut dengan berdo’a untuk mengutuk perkampungan Bani Salim, juga untuk Suku Ri’l, Dzakwan, dan Ushoyyah, sedangkan para ma`mum di belakang beliau mengamini.” [Shohih Imam Ibnu Khuzaimah]

Adapun alasan RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam mengutuk suku-suku tersebut adalah karena mereka telah membunuh banyak kaum muslimin pada peristiwa Bi`r Ma’unah, seperti disebutkan pula dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ قَالَ دَعَا رَسُوْلُ اللّـهِ صَلَّى اللّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الَّذِيْنَ قَتَلُوْا أَصْحَابَ بِئْرِ مَعُوْنَةَ ثَلاَثِيْنَ صَباحًا يَدْعُوْ عَلى رَعْلٍ وَذَكْوَانَ وَلَحْيَانَ وَعَصِيَّةٍ عَصَتِ اللّـهَ وَرَسُوْلَهُ .

Dari Sayyidina Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau), beliau berkata, “RasuluLLah shallallahu ‘alayhi wasallam berdo’a untuk orang-orang yang mati syahid dalam tragedi Bi`r Ma’unah dalam waktu tiga puluh kali sholat Shubuh. Beliau mengutuk kaum Ri’l, Dzakwan, Lihyan, dan Ushoyyah, yang telah berbuat durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” [H.R. Imam Muslim]

Kemudian, mari kita simak pula hadits berkut ini—hingga akhir hadits:

عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُوْ عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهُ فَأَمَّا فِى الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا .

Dari Sayyidina Anas bin Malik radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau), sesungguhnya Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alayhi wasallam melakukan qunut selama sebulan, beliau mengutuk mereka (kaum yang zholim), kemudian beliau meninggalkannya. Adapun pada waktu sholat Shubuh, beliau tetap melakukannya sampai beliau wafat.” [H.R. Imam al-Baihaqi]

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Hafizh ‘Abdurrohman bin Mahdi bahwa beliau berkata mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina Anas bin Malik radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau) di atas, “RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam qunut selama sebulan, kemudian meninggalkannya.” Kata beliau, “Yang ditinggalkan RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam itu adalah melaknat.”

Dengan mempertimbangkan hadits-hadits shohih di awal, as-Sayyid Hasan bin ‘Ali as-Saqqaf mengatakan, hadits yang menyatakan bahwa RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam membaca do’a qunut selama sebulan untuk mendo’akan kecelakaan bagi sebagian orang Arab kemudian meninggalkannya, tidak bertentangan dengan hadits-hadits shohih tentang pembacaan do’a qunut dalam sholat Shubuh—yang telah disebutkan di awal tadi. RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam berhenti melaknat kaum tersebut dalam qunut, tetapi beliau shallaLlahu ‘alayhi wasallam tidak meninggalkan qunut sama sekali. Qunut Shubuh tetap ada, tetap dilakukan RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam. Yang tidak ada (yang ditinggalkan RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam) adalah qunut yang melaknat—yang dalam konteks hadits tersebut adalah mendo’akan kecelakaan untuk beberapa suku Arab yang telah membunuh banyak muslimin pada peristiwa Bi`r Ma’unah.



Berikut ini adalah do’a qunut yang masyhur dibaca pada sholat Shubuh:

اَللّـهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلى مَا قَضَيْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ، وَصَلَّى اللّـهُ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ نِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ .

Ya Allah, berikanlah petunjuk kepadaku sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, anugerahkanlah kesehatan kepadaku sebagaimana orang yang telah Engkau anugerahkan kesehatan, bimbinglah aku sebagaimana orang yang telah Engkau bimbing, berkahilah segala sesuatu yang telah Engkau berikan padaku, lindungilah aku dari keburukan yang telah Engkau tentukan. Sesungguhnya Engkau yang Maha Menentukan takdir, dan tiada yang menentukan takdir untuk-Mu. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi, dan tidak akan berjaya orang yang Engkau musuhi. Mahamulia Engkau dan Mahaluhur. Segala puji bagi-Mu atas apa yang Engkau tentukan. Aku mohon ampun dan aku bertaubat kepada-Mu. Semoga Allah melimpahkan sholawat dan salam kepada Sayyidina Muhammad—nabi yang ummiy—beserta  keluarga dan para sahabat beliau.

Do’a tersebut diriwayatkan dari Sayyidina Hasan bin ‘Ali rodhiyaLlahu ‘anhuma (semoga Allah ridho kepada beliau berdua).

Ketika menjadi imam, kita disunnahkan untuk membaca do’a qunut dalam redaksi plural/jamak (yakni Allaahummahdinaa fiiman hadayt, wa ‘aafinaa fiiman ‘aafayt, dan seterusnya). Seorang imam dimakruhkan membaca do’a dengan menggunakan redaksi tunggal/sendiri, karena dengan begitu berarti ia mengkhususkan do’a yang dibacanya tersebut hanya untuk dirinya sendiri tanpa menyertakan yang lain, yakni ma`mum yang dipimpinnya. Jika seorang imam tetap membaca do’a dengan menggunakan redaksi tunggal/sendiri, maka do’a yang dibacanya tersebut dianggap sudah terpenuhi, akan tetapi hukumnya—seperti yang telah dikemukakan tadi—makruh.

Habibana Mundzir bin Fu`ad bin 'Abdirrohman al-Musawa
http://syiarmajelis.blogspot.com/2012/03/ebook-ceramah-habib-munzir-al-musawa_13.html


Mengangkat kedua tangan dalam do’a Qunut itu disunnahkan. Hal tersebut berdasarkan hadits-hadits dan atsar-atsar. Adapun hukum mengusapkannya ke wajah adalah ja`iz (boleh). Tidak ada dalil yang khusus tentang mengusapkan kedua tangan ke wajah dalam qunut, namun mengusap tangan dalam berdo’a secara mutlak dibolehkan, dalilnyapun ada.

Diriwayatkan secara kuat (tsabit) dari RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam adanya mengusap wajah setelah selesai berdo’a. Sayyidina ‘Umar bin al-Khoththob radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau) berkata, “Ketika RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam menengadahkan tangan beliau dalam berdo’a, beliau baru menurunkan tangan setelah mengusapkannya ke wajah beliau.” [H.R. Imam at-Turmudzi]

Sayyidina Muhammad bin Syihab az-Zuhri radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau) meriwayatkan, “Ketka berdo’a, RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam mengangkat kedua tangan beliau sejajar dengan dada beliau, kemudian beliau mengusapkannya ke wajah beliau.” [H.R. Imam ‘Abdurrozzaq]

Terkait dengan hadits RasuluLlah shallaLlahu ‘alayhi wasallam yang disampaikan Sayyidina ‘Umar bin al-Khattab radhiyaLlahu ‘anhu (semoga Allah ridho kepada beliau) di atas, al-Amir as-Shon’ani menjelaskan, “Hadits tersebut mengandung dalil disyari’atkannya mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selesai berdo’a. Menurut sebuah riwayat, Allah subhanaHu wata’ala tidak akan membiarkan tangan yang ditengadahkan itu hampa. Dia (Allah subhanaHu wata’ala) melimpahkan rahmat-Nya ke tangan tersebut. Kemudian, tangan itu diusapkan ke wajah, supaya rahmat-Nya tadi diterima oleh wajah yang merupakan anggota badan yang paling mulia dan paling berhak untuk dimuliakan.”



Untuk kita—ber-madzhab Imam Syafi’i—yang berpegangan bahwa membaca do’a qunut pada sholat Shubuh itu sunnah, jika suatu saat lupa membacanya, maka sholat Shubuh kita tidaklah batal, namun kita dianjurkan melakukan sujud sahwi.

Al-Imam al-Hasan al-Bishri rahimahuLlahu ta’ala (semoga Allah merahmati beliau) berkata, “Jika seseorang lupa membaca do’a Qunut, hendaklah ia sujud sahwi dua kali.”

Diriwayatkan dari ‘Atho`, “Barangsiapa yang berpendapat bahwa qunut itu sunnah, kemudian suatu ketika ia tidak ber-qunut, maka hendaklah ia sujud sahwi dua kali.”

Sholat di Masjidil Harom, Makkah al-Mukarromah
http://madawis.blogspot.com/2013/08/4-azmatkhan-yang-pernah-menjadi-imam.html


Ada soalan lain yang baik sekali untuk disampaikan pula pada kesempatan ini. Bagaimana jika kita yang rutin membaca do’a qunut tiap sholat Shubuh pergi haji atau umroh, sementara para Imam sholat di Masjidil Harom dan di Masjid Nabawi tidak membacanya? Guru kita, al-Marhum al-Maghfurlah Habibunal-Mahbub Sulthonul-Qulub al-Habib Mundzir bin Fu`ad bin ‘Abdirrohman al-Musawa ‘alayhi rahmatuLlah (semoga rahmat Allah terlimpah kepada beliau) memberikan keterangan sebagai berikut:

“Umat Islam di Indonesia pada umumnya ber-madzhab Syafi’i. Guru-guru kita sanad keguruannya sampai kepada Imam asy-Syafi’i, dan sanad beliau-beliau sampai kepada Imam al-Bukhori hingga RasuluLlah shallallahu ‘alayhi wasallam. Benar bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan. Bila di Makkah, misalnya, kita menggunakan Madzhab Imam Abu Hanifah karena di sana kebanyakan ber-madzhab Hanafi. Atau menggunakan Madzhab Imam Malik di Madinah karena kebanyakannya ber-madzhab Maliki. Selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah.

“Berpindah-pindah madzhab boleh-boleh saja bila sesuai situasinya. Jika seseorang pindah atau bepergian ke wilayah Malikiyyun (masyarakat yang ber-madzhab Maliki) maka tak sepantasnya ia bersikukuh dengan—misalnya—Madzhab Syafi’i yang dipegangnya sehari-hari. Demikian pula bila ia berada di Indonesia yang merupakan wilayah Syafi’iyyun (masyarakat ber-madzhab Syafi’i), tak sepantasnya pula ia berkeras kepala mencari madzhab lain.”

Prof. Dr. al-Muhaddits al-Musnid Abuya as-Sayyid Muhammad bin 'Alwi bin 'Abbas al-Maliki
http://penaal-azhari.blogspot.com/2011/05/wasiat-abuya-sayyid-muhammad-bin-alawi.html


Di kota Makkah al-Mukarromah ada seorang ‘ulama` bernama al-Marhum al-Maghfurlah Prof. Dr. al-Muhaddits al-Musnid Abuya as-Sayyid Muhammad bin 'Alwi bin 'Abbas al-Maliki rahimahuLlahu ta’ala (semoga Allah merahmati beliau). Banyak sekali ‘ulama` Indonesia yang belajar kepada beliau. Beliau sangat menyukai dan menggandrungi Madzhab Imam Malik, namun jika beliau memberikan pengajaran kepada para pelajar yang berasal dari Indonesia, beliau mengajarkan materi pengajaran Madzhab Imam Syafi’i. Mengapa? Beliau mengetahui penduduk Indonesia berpegangan kepada Madzhab Imam Syafi’i. Beliau menyadari bahwa apabila beliau mengajarkan Madzhab Imam Malik kepada para pelajar Indonesia, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan kegaduhan sepulangnya para pelajar tersebut ke Indonesia untuk mengamalkan, mengajarkan, dan menyebarluaskan ilmu yang telah didapatnya itu.

Guru kita, al-Marhum al-Maghfurlah K.H. Sabilarrosyad—sanad keguruan beliau menyambung kepada al-Marhum al-Maghfurlah K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami dan al-Marhum al-Maghfurlah al-Habib ‘Ali bin Husain al-‘Aththos ‘alayhim rahmatuLlah (semoga rahmat Allah terlimpah kepada beliau semua), pernah memberi pesan kepada jama’ah yang hendak menunaikan ibadah haji untuk menghormati masyarakat setempat. Untuk sementara waktu, selagi menunaikan ibadah haji, berpeganglah pada Madzhab Imam Malik. Nanti, saat kembali ke tanah air, gunakan kembali Madzhab Imam Syafi’i.

Demikianlah guru-guru kita mengajarkan sekaligus mengamalkan untuk menghormati masyarakat sekitar, menjunjung langit di mana bumi dipijak. Semoga manfaat. Mohon koreksi tulisan hamba. WaLlahu A’lam.

No comments:

Post a Comment